HAI, apa kabarmu di hari merdeka ke-76 tahun ini?
Semoga kabarmu baik dengan jiwa merdeka yang masih bersemayam di dalam dirimu.
Jiwa merdeka perlu kita hidupi di tengah makin terbatasnya kita karena situasi akhir-akhir ini.
Nyaris dua tahun kita dalam situasi pandemi. Kemerdekaan dalam arti bisa melakukan apa saja tidak mudah kita dapati.
Berbagai pembatasan dan keterbatasan membuat kemerdekaan kita tidak bisa kita ekspresikan.
Kita sadar, kemerdekaan kita terbatas dan dibatasi selama pandemi. Ketika hendak diekspresikan tetapi membahayakan orang lain, kemerdekaan kita tidak layak dinyatakan.
Jika hendak mengekspresikan kemerdekaan, perlu mempertimbangkan kemerdekaan orang lain yang terganggu atau justru dalam ancaman.
Itu kenapa kita yang tampak sehat-sehat saja atau tanpa gejala tetap wajib taat pada protokol kesehatan yang membatasi kemerdekaannya selama pandemi.
Tidak hanya karena pendemi. Di era digital, kemerdekaan kita semakin hari semakin tampak seperti ilusi.
Jika masih ragu akan ilusi kemerdekaan ini, coba pejamkan mata sebentar.
Ingatlah dan telusuri pilihan yang kamu anggap paling merdeka atau bebas hari-hari ini.
Memilih berita? Memilih perabot rumah? Memilih sepeda? Membeli sepatu? Membeli jajanan via aplikasi? Mengunggah atau memberi komentar di media sosial?
Yakin kamu merdeka? Yakin kamu bebas saat memilih dan melakukannya?
Ada algoritma yang membuat kita tampak merdeka padahal perilaku dan pilihan-pilihan kita sudah diantisipasi olehnya. Kita tidak bisa keluar dari kendali antisipasi itu.
Kok bisa? Bisa! Karena kita kerap tanpa sadar dan sadar sepenuhnya menyerahkan diri lewat beragam data dan cuma-cuma.
Karena itu, di era serba terbuka ini, kita kemudian dipasung dan dihancurkan oleh keterbukaan itu sendiri.
Perlawanan atas situasi ini coba dilakukan dengan pijakan keyakinan privacy is power.
Banyak anjuran disampaikan. Untuk bahagia dalam hal ini lebih merdeka, kita perlu berhati-hati membagi hal-hal yang seharusnya hanya diri kita sendiri saja yang tahu.
Soal kekuatan dalam privacy dan bagaimana bisa lebih bahagia lantaran lebih merdeka, secara tidak langsung saya diingatkan oleh Presiden Joko Widodo.
Peringatan itu disampaikan bukan lewat kata-katanya, tetapi lewat baju Baduy yang dikenakan Presiden Jokowi dalam Sidang Tahunan MPR-RI dan Pidato Kenegaraan Presiden dalam Rangka HUT ke-76 RI di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Senin (16/8/2021).
Banyak makna bisa dilekatkan untuk pilihan mengenakan baju Baduy yang dipesan dari Kepala Desa Kanekes dan Tokoh Adat Baduy Saija.
Kamis (12/8/2021), baju pesanan terdiri dari baju hitam lengan panjang, iket atau lomar, golok, dan koja, diambil ajudan Presiden. Harganya semua pesanan sekitar Rp 500.000.
Menurut Saija, baju pesanan Presiden merupakan baju sehari-hari masyarakat Baduy.
Saija mengemukakan penggunaan iket atau lomar warna biru sebagai pralambang luhur soal ikatan atau persatuan.
Sebagai satu bangsa, kita saling terikat, bersatu untuk ketenteraman, kesejahteraan dan kesuburan.
Iket atau lomar yang dikenakan warga Baduy dan kini dikenakan Presiden adalah lambang dan pernyataan perikatan dan persatuan itu.
Di luar makna atau lambang yang dinyatakan, jika lebih dalam melihat, kearifan hendak dinyatakan dengan baju yang dikenakan masyarakat Baduy.
Menurut pendiri Youth Laboratory Indonesia Mohammad Faisal, kearifan itu tetap relevan untuk dijadikan pijakan di tengah banyak pilihan yang menggugat kemerdekaan kita.
Warga Baduy mengenakan pakaian sesuai fungsi untuk menunjang aktivitas yaitu ke ladang atau melakukan perjalanan jauh.
Pijakan ini berbeda dengan kecenderungan kita akhir-akhir ini. Dengan ilusi kebebasan yang kita miliki, kita memilih dan mengenakan pakaian sebagai tanda.
Karena mengejar tanda, harga lantas tidak terperi. Makin menandakan sesuatu, makin mahal harganya untuk fungsi yang mungkin sama saja melindungi tubuh.
Warga Baduy juga tahu persis baju yang dikenakan datang dari mana bahannya dan bagaimana dibuat.